Selasa, 18 Juni 2013

Kajian dan Sikap Resmi BEM FEB UGM terkait Kenaikan Harga BBM


Kajian dan Sikap Resmi BEM FEB UGM terkait Kenaikan Harga BBM 
oleh M Ibnu Thorikul Aziz 
(Catatan) pada 18 Juni 2013 pukul 7:31

Harga BBM: Kenaikan Harga, Bukan Penghapusan Subsidi
Kajian dan Sikap Resmi BEM FEB UGM
Pemerintah dan DPR saat ini tengah membahas mengenai kenaikan harga BBM. Pro dan kontra pun mengalir dari masyarakat Indonesia, terutama dari mahasiswa yang menyerukan gerakan menolak kenaikan harga BBM. Kritik pun ditujukan terhadap BLSM (Bantuan Langsung Sementara, dulunya BLT) atas pendanaan yang dinilai merupakan bantuan dari ADB dan World Bank.[i] Di pihak lain, Pemerintah menyatakan bahwa dana BLSM murni dari APBN, diambil kenaikan harga.[ii] Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi perekonomian saat ini sehingga mendorong pemerintah untuk membahas mengenai pengurangan subsidi BBM? Apa sebenarnya alasan utama dari kenaikan harga ini?


Awalnya, program subsidi BBM ditujukan sebagai langkah pemerintah memberikan akses kepada rakyat miskin terhadap energi, terutama solar dan premium yang merupakan konsumsi energi terbanyak pada rakyat. Program subsidi ini diambil dari dana APBN tiap tahunnya dan sampai saat ini, porsi APBN terhadap subsidi energi telah mencapai angka 274,74 T. Angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan belanja modal negara sebesar 193,34 T di tahun 2012.[iii]
Dalam pelaksanaannya, subsidi energi yang dicanangkan pemerintah ternyata disalahgunakan. 77% alokasi subsidi BBM digunakan oleh 25% rumah tangga dengan penghasilan tertinggi, sedangkan hanya 15% alokasi BBM bersubsidi yang dinikmati oleh 25% rumah tangga dengan penghasilan termiskin. Kenyataan ini jelas menimbulkan ketidakadilan tersendiri bagi masyarakat kalangan bawah dan hal ini jelas telah melenceng jauh dari tujuan awal pelaksanaan BBM bersubsidi. Terlebih lagi, alokasi subsidi BBM dalam APBN di sepanjang tahun telah membengkak dengan porsi yang cukup besar.
Tabel 1. Alokasi Subsidi APBN 2007 - 2013

Tabel 2.Proporsi Alokasi Subsidi Energi Terhadap Total Subsidi APBN 2007 - 2013


Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa sepanjang tahun 2007 – 2013, proporsi alokasi subsidi BBM cenderung untuk mengalami kenaikan. Puncaknya memang di APBN 2013, dimana jumlah subsidi BBM mencapai 11% dari total pengeluaran APBN 2013, yaitu sebesar Rp193 T. Bila dibandingkan dengan subsidi lain, terutama dari sektor non-energi, total subsidi BBM memang memakan porsi yang besar. Padahal jika dicermati, komponen dari subsidi non-energi, seperti pangan, pupuk, dan benih, juga menjadi salah satu komponen yang penting bagi masyarakat Indonesia, yang masih didominasi sebagai petani.
Tekanan Rupiah dan Sentimen Pasar

Dalam RAPBN-P 2013, penerimaan negara mencapai Rp 1.488,2 trilliun, belanja negara mencapai Rp 1.722 trilliun sehingga defisit anggaran mencapai Rp 233, trilliun. Belanja ini sudah mencakup kenaikan subsidi energi dan berbagai perubahan asumsi lain, diantaranya penerimaan pajak negara yang menurun sebagai dampak ekonomi global. Namun, kondisi defisit RAPBN-P 2013 ini telah menembus limit batas defisit 3 persen terhadap GDP, dan implikasinya adalah negara tidak memungkinkannya pemerintah untuk menerbitkan surat obligasi yang dapat dikatakan pengelolaannya sudah mapan.[iv]

Di sisi lain, kondisi rupiah dinilai mengkhawatirkan dimana rupiah sempat menembus angka psikologis Rp 10.000,00 di pasar non-deliverable forward, dan diikuti dengan IHSG yang melorot 3,5 persen. Kondisi ini sebenarnya dapat terjadi akibat adanya penarikan dana asing keluar dari Indonesia yang dipicu oleh ketidakpastian perihal kebijakan harga BBM, di samping perekonomian Amerika yang sudah membaik. Dalam hal ini, pasar memberikan sentimen negatif atas “kenyamanan” pemerintah dalam menghadapi kondisi makro yang “tidak nyaman”. Pemerintah yang seharusnya mampu beradu cepat dengan kondisi pasar, malah cenderung “galau” dengan melempar bola panas BBM ke Senayan. Padahal, undang-undang telah meberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menetapkan harga BBM.

Pemerintah harusnya menyadari bahwa Indonesia bukan merupakan satu satunya tempat untuk menanamkan modal. Hal ini haruslah menjadi suatu kesadaran tersendiri bagi pemerintah untuk menstabilkan perekonomian Indonesia, dan pasar menilai kondisi ini buruk akibat adanya ketidakpastian pemerintah mengenai harga BBM. Bisa jadi pasar menilai pemerintah tidak peka dengan “crisis alarm” yang menunjukkan lampu merah.

Bila dilihat dari kaca perekonomian makro, melalui pendekatan data yang ada, angka defisit berjalan misalnya, telah mengalami kenaikan sebesar 70 persen dari 3,1 milliar dollar AS pada kuartal I-2012 menjadi 5,2 milliar dollar AS pada kuartal I-2013. Hal ini diperparah dengan kondisi neraca modal yang telah mengalami penurunan yang cukup drastis dalam kurun waktu tiga bulan, dari 112,7 milliar dollar AS pada penutupan akhir tahun 2012, menjadi 104,8 milliar dollar AS pada bulan Maret 2013. Cadangan yang semakin menipis ini semakin mengkhawatirkan jika terjadi kepanikan pasar dengan menarik utang jangka pendek dari Indonesia.

Hal tersebut bisa menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia dan semuanya kembali kepada sumber masalah utama: Harga BBM. Subsidi BBM yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berimplikasi pada murahnya harga BBM Indonesia yang menyumbang terhadap membengkaknya konsumsi BBM nasional, yang sebagian besar dipenuhi dari impor. Dampaknya, hal tersebut mengalami defisit neraca minyak Indonesia sebesar 6,5 milliar dollar AS.

Investor semakin galau ketika beberapa partai politik/politisi justru menggunakan isu BBM sebagai panggung untuk kepentingan elektoral. Para politisi ini yakin APBN tidak akan jebol bila harga BBM tida dinaikkan. Mereka berpegang pada argumen bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat karena harga harga akan menyusul naik. Kenyatannya, kebijakan subsidi BBM itu sendiri secara inheren keliru dan perlu dikoreksi. Jadi, persoalannya bukan lagi hanya soal cukup atau tidaknya uang pemerintah untuk membayar subsidi. Selain itu, memang tidak ada alternatif solusi lain yang dapat mengatasi krisis APBN ini dengan cepat dan tuntas kecuali menaikan harga BBM.[v]

BLSM sebagai Social Safety Nets
Rancangan kenaikan harga BBM dalam RAPBN P 2013 diperkirakan oleh BI akan meningkatkan inflasi menjadi 7,47%[vi]. Inflasi sebesar ini memang akan sangat memberatkan, khususnya bagi masyarakat-masyarakat kecil, mengingat target awal inflasi hanya 6,1 % untuk akhir tahun 2013 ini. Atas dasar itulah, maka pemerintah memberikan kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi, yaitu sebesar Rp150.000/bulan/kepala rumah tangga untuk 15,5 juta rumah tangga miskin selama 5 bulan. Kompensasi ini diberikan melalui kantor pos selama 4 bulan.
Walaupun dianggap sebagai kompensasi, BLSM tetap menuai banyak pro kontra karena besarnya kemungkinan program ini dicampuri program politik partai tertentu. Terlepas dari isu politik tersebut, menurut kacamata kami BLSM cukup memberikan bantuan atas perannya sebagai social safety net bagi warga miskin yang mungkin akan ‘kaget’ atas dampak kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Jangka waktu pemberian selama 4 bulan sesungguhnya telah disesuaikan dengan masa adaptasi stabilitas kondisi perekonomian setelah harga BBM naik. Perlu diperhatikan disini, setiap kenaikan harga atas kebijakan pemerintah, dampaknya hanya akan bersifat temporer, paling lama 3 bulan setelah keputusan diambil[vii].
Isu BLSM kemudian menjadi lebih kompleks apabila mencapai ranah sumber pendanaan. Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, sudah seharusnya memang dana BLSM juga bersumber dari penghematan subsidi BBM, yaitu sebesar Rp 11,6 T dari total penghematan sebesar Rp25 T. Jika menggunakan utang luar negeri, jelas implikasi yang ditimbulkan akan sangat meruugikan, terutama impilkasi untuk jangka panjang karena pemerintah harus melakukan pembayaran cicilan utang dan bunga setiap tahunnya.
Beberapa isu muncul atas keterlibatan pendanaan asing dalam program kompensasi BLSM ini. Pemerintah mengakui bahwa bantuan asing hanya bersifat grant yang tidak mengikat dan dana tersebut hanya digunakan untuk technical assistance, bukan implementasi di lapangan, apalagi digunakan sebagai pendanaan BLSM sendiri[viii]. Harapan kami, pemerintah memang tidak menggunakan program ini sebagai ajang peningkatan utang luar negeri. Itulah mengapa pelaksanaan BLSM ini tetap haruus kita diawasi.
Penurunan Target Penerimaan Pajak
Tabel 3. Perbandingan Penerimaan Pajak APBN 2013 dan RAPBN P 2013

Berdasarkan RAPBN-P 2013 yang sedang digodok oleh pemerintah, target penurunan pajak mengalami penurunan sebesar Rp52,7 T atau sekitar 4,4% dari target awal di APBN 2013. Ketergantungan Indonesia pada penerimaan pajak sektor-sektor usaha besar, seperti pertambangan dan manufaktur, menjadikan pengaruh lesunya ekonomi global berdampak cukup signifikan pada penerimaan pajak tahun ini. Belum stabilnya perekonomian global menyebabkan permintaan akan produk-produk ekspor Indonesia menurun. Secara langsung hal ini akan berdampak pada penerimaan perusahaan-perusahaan besar yang memang berorientasi dalam kegiatan ekspor. Selain itu, penerimaan pajak pada sektor UKM juga belum dimaksimalkan mengingat potensi sektor yang sedang tumbuh ini sangat potensial dalam pendapatan negara. Di sisi lain, penurun pajak juga dapat dikaitkan dengan penurunan kepercayaan masyarakat yang disebabkan karena banyaknya penyelewengan penggunaan pajak oleh pemerintah.

Jika dibandingkan dengan kenaikan nilai subsidi pada RAPBN P 2013 sebesar Rp35,2 T, jumlah penurunan target pajak sebesar Rp52,7 T memang bisa dikatakan lebih besar (lihat tabel). Penerimaan pajak yang menurun sesungguhnya memang berkontribusi lebih besar dalam kenaikan defisit dalam RAPBN P 2013 yaitu sebesar 22,6% jika dibandingkan kontribusi kenaikan subsidi yang hanya mempengaruhi sebesar 15%. Hal ini sesungguhnya turut menjadi perhatian saat isu kenaikan defisit dihembuskan. Maka dari itu, perbaikan / reformasi sistem perpajakan di Indonesia memang perlu segera dilakukan. Agus Martowardjojo sendiri, saat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, pada Februari 2013 menyatakan bahwa beberapa upaya yang akan dilakukan Dirjen Pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak adalah melalui pengawasan pada perusahaan-perusahaan besar serta peningkatan sosialisasi serta edukasi bagi wajib pajak.
Selain itu, pelaksanaan sensus Wajib Pajak juga merupakan hal wajib yang perlu dilakukan oleh Dirjen Pajak, mengingat hingga saat ini, SPT yang tercatat hanya disekitar 8,5 juta dari 110 juta potensi yang ada (2011). Hal ini tidak jauh berbeda dengan jumlah wajib badan tercatat sebanyak 446.000 dari potensi badan usaha yang mencapai 12 juta. Sensus ini dapat dilakukan pada seluruh wajib pajak badan dan perorangan dengan tujuan untuk mendongkrak basis pembayar pajak dan tentunya meningkatkan keadilan antar masyarakat.
Melalui sensus pajak, jumlah wajib badan pajak dapat diperkirakan meningkat sebanyak 3 juta per tahun dan 5 juta selama 3 tahun untuk wajib pajak badan. Jika dapat dilaksanakan dengan disiplin dan maksimal, dalam setahun penerimaan pajak kita dapat meningkat sebesar 3 x lipat dari saat ini.

Memang, perbaikan reformasi pajak diatas dapat sangat membantu kesehatan fiskal negara ini. Namun, melihat kondisi fiskal dan APBN saat ini yang sangat rentan, ditambah lagi dengan reaksi pasar yang pesimis hingga mempengaruhi beberapa indikator ekonomi kita, ‘pengobatan’ kondisi fiskal melalui pajak bukanlah menjadi prioritas utama. Saat ini, walaupun dengan efek penghematan yang tidak begitu signifikan besarnya, kenaikan subsidi BBM menjadi langkah paling cepat untuk mengobati dan menyelamati kondisi fiskal negara ini. Selain karena penurunan kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia, pada kenyataannya subsidi BBM memang menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang salah sasaran.
Penurunan penerimaan pajak yang terjadi di Indonesia juga karena adanya defisit neraca perdagangan, yang menunjukkan bahwasanya impor melebihi ekspor, sehingga target penerimaan pajak negara juga ikut menurun. Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan adanya ketidakpastian harga BBM, disusul dengan membengkaknya defisit APBN yang mencapai limit 3 persen terhadap GDP. Kondisi makro ekonomi inilah yang menjadikan investor menarik dananya keluar dari Indonesia, ditambah dengan kondisi perekonomian Amerika yang dinilai membaik.
Saat ini, tidak memungkinkan adanya langkah menyelamatkan kondisi fiskal negara melalui penarikan pajak dengan langkah sensus pajak. Bila dianalisis, kenaikan penerimaan negara melalui sektor pajak merupakan kebijakan yang memiliki sifat indirect atau memiliki dampak yang tak langsung. Selain itu, penarikan pajak membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga, kebijakan yang paling tepat untuk saat ini adalah menaikkan harga BBM, dengan memberikan jalan pemberian BLSM sebagai bantalan perekonomian terhadap rakyat miskin.


Liberalisasi Migas?
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM telah menuai kontra dari kalangan mahasiswa dan rakyat. Hampir semuanya menyuarakan hal yang sama, dengan menolak harga BBM. Alasannya pun beragam, namun secara umum hampir keseluruhan menyuarakan kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang menguntungkan pemilik modal, dan merupakan kepajangan tangan dari antek neolibaralisme. Dengan mengatasnamakan rakyat, penolakan terhadap kenaikan harga BBM sekaligus memberikan saran kepada pemerintah untuk menilik kembali kedaulatan energi Indonesia.
Kenaikan harga BBM yang dibarengi dengan pemberian BLSM juga mengundang kritik pedas dari berbagai pihak. Salah satunya dari pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Moorsy yang menyatakan bahwa pemberian BLSM didanai oleh asing, yang merupakan utang dari ADB dengan bukti yang dapat diunduh pada halaman ADB dengan nama DPSP (Development Policy Support Program) tahap ketiga. Di satu sisi, pernyataan ini ditolak oleh Staf Kepresidenan, Prof. Firmanzah bahwasanya pemberian BLSM bukan merupakan utang asing dan murni merupakan dana APBN. Menanggapi isu tersebut, benarkah bahwa asing ingin menguasi migas di Indonesia?
Berdasarkan yang kami peroleh dari berbagai pihak, memang menunjukkan adanya beberapa kepentingan asing yang ikut mencampuri kepentingan Indonesia dengan jalan ikut serta dalam merumuskan draft undang undang. Salah satunya yang paling kontroversial adalah UU Migas, liberalisaasi migas yang telah dilegalkan. Dalam UU ini, mengizinkan adanya perusahaan asing untuk ikut serta dalam bisnis hilir migas, dengan ada 97 perusahaan yang telah mengantri, dengan masing masing mengantongi izin pendirian 2000 SPBU.
***************
U.S. Embassy Statement on USAID Assistance for Energy Sector Reform[ix]
August 29, 2008

This statement addresses recent allegations of improper influence by USAID in assisting the Government of Indonesia reform the energy sector.
Under the terms of its agreements with the Government of Indonesia, the United States provided technical assistance and training for Indonesia as it considered reform in energy sector. These inputs on best practices and international experience on these issues were designed to be helpful and contributed to the Government's process, and all decisions about any changes to law or policy were made by the Government of Indonesia as an output of its own processes.
All USAID funds were utilized and controlled in accordance with USAID regulations, and audited regularly. They were used to cover the cost of the Technical Assistance (TA) teams (long and short term), training and workshops for the duration of the Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) (5 years).
In early 1999, USAID was requested by Mr. Kuntoro Mangkusubroto, the then-Minister of Energy and Mineral Resources (MOMR), to help review a draft Oil and Gas Law, which was prepared by the GOI/MOMR, and was rejected by the DPR. This draft law was part of GOI efforts to reform the entire energy sector (oil, gas, electricity, geothermal) to improve its efficiency, and be able to sustain its contribution to support economic growth.
USAID responded positively, and signed a SOGA, with a budget of $4 million a year, and a total budget of $20 million over 5 years. These budgets were for funding the long-term TA teams, short-term TAs, workshops and training. USAID mobilized three TA teams for Oil and Gas, Electricity and General Energy.
USAID helped the Government of Indonesia to review the draft law, in term of its consistency, implementability, and the phases of the implementation. It also helped review the "academic paper" for this law, which explains the reasons, how it would be implemented it and what likely impacts would occur. This academic law became the "Oil and Gas Policy" paper.
The draft oil and gas law was subjected to very intense deliberations by GOI and DPR during the President Yudhoyono’s tenure as Minister of Energy, and was enacted in 2001 under current Minister Purnomo Yusgiantoro.
***************
Melihat kenyataan tersebut, kami BEM FEB UGM menyadari bahwasanya memang ada kepentingan asing dalam sektor migas di Indonesia. Namun, pernyataan kami mendukung kenaikan harga BBM (bukan menghapuskan subsidi BBM) bukan merupakan kebijakan yang mendukung neolibaralisme. Kenaikan harga BBM merupakan langkah yang paling tepat guna menyelamatkan perekonomian saat ini yang mengalami twin deficit, dan untuk saat ini, kebijakan kenaikan harga BBM lah yang dapat menyelamatkan kondisi kesehatan fiskal.
Perlu diingat, kenaikan harga BBM tidak berarti pencabutan subsidi, selama harga BBM tidak dilepas ke harga pasar. Kenaikan harga BBM saat ini adalah untuk menyelamatkan anggaran negara serta kurs yang mengalami depresiasi. Kebijakan ini merupakan sentimen positif yang dapat diberikan kepada pasar oleh pemerintah untuk menarik investor menempatkan dananya kembali di Indonesia. Perlu digaris bawahi, kebijakan ini kami dukung selama kenaikan harga ditujukan untuk menstabilkan kondisi fiskal, dan dengan pemberian BLSM yang ditujukan untuk meredam inflasi pada masyarakat miskin bukan merupakan dana asing. BLSM haruslah murni berasal dari tambahan dana yang didapatkan oleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM. Tambahan dana yang diperoleh pun haruslah ditujukan kembali untuk rakyat dan untuk membangun kembali kedaulatan energi di Indonesia.
Rekomendasi BEM FEB UGM
Berdasarkan paparan analisis kami di atas, dapat tertarik beberapa kesimpulan atas sikap BEM FEB UGM atas kenaikan harga BBM bersubsidi:
BEM FEB UGM menerima kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai langkah paling cepat untuk menyelematkan kondisi perekonomian, khususnya kondisi fiskal. Penerimaan atas kenaikan harga BBM Bersubsidi merupakan sikap atas kondisi jangka pendek yang dapat diambil pemerintah.
BEM FEB UGM menerima adanya program BLSM sebagai security safety net sebagai bantalan bagi warga miskin untuk menghadapi inflasi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Pemerintah perlu melakukan reformasi sistem penerimaan pajak yang dinilai masih kurang optimal. Hal utama yang perlu dilakukan adalah sensus wajib pajak dan penegakan peraturan perpajakan.
Dalam jangka panjang, diharapkan pemerintah dapat melakukan revisi atas segala agreement dan perundang-undangan (khususnya UU Migas) yang menyebabkan adanya potensi liberalisasi migas. Reformasi perundang-undangan dapat diambil setelah kondisi perekonomian atas kenaikan BBM bersubsidi telah mulai stabil. Kesemuanya harus ditujukan untuk memakmurkan rakyat dan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, khususnya kedaulatan energi.

Kajian Kenaikan Harga BBM

Tim Kajian Strategis BEM FEB UGM



[iii] Data Litbamg “Kompas”

[iv] Solusi APBN Perubahan 2013 dalam Kompas 13 Juni 2013 oleh Anggito Abimanyu



Ketimpangan subsidi BBM

Alokasi Subsidi dalam APBN

Prosentase Subsidi Terhadap Total APBN

Penerimaan Pajak dalam APBN 2013 dan RAPBN 2031